Dengan Adanya UU. No. 11 tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak (SPPA), yang berfokus pada Keadilan Restoratif dan Diversi yang menekankan pada ‘pemulihan’ ketimbang ‘pembalasan’ seperti penerapan pada hukum pidana orang dewasa. Pembuatan Undang-undang ini diharapkan dapat mengubah stigma masyarakat yang memandang anak sebagai ‘kriminal’, membuat masyarakat sadar bahwa anak masih dalam masa pengembangan diri dan karenanya mereka pun belum dapat mempertanggungjawabkan perilakunya secara penuh. Pengajaran dari orang tua dan lingkungan sekitar memiliki peran besar dalam pembentukan perilaku anak tersebut.
Pasal 1 ayat 3 menjelaskan bahwa Anak Berkonflik dengan Hukum (ABH) adalah anak berumur 12 (dua belas) tahun, tetapi belum berumur 18 (delapan belas) tahun yang diduga melakukan tindak pidana. Dengan kata lain umur 12 tahun menjadi ambang batas anak dapat mempertanggung jawabkan perbuatannya, walaupun tidak secara penuh seperti halnya orang dewasa. Untuk anak yang berada di bawah 12 tahun tidak dapat dikenai pidana, namun hanya dapat diberikan tindakan sesuai dengan pasal 21 ayat 1.
Dari segi penanganan kasus ABH tentunya juga berbeda dengan penanganan kasus orang dewasa. Di sini diperlukan peran serta APH, masyarakat, juga lembaga-lembaga terkait seperti Advokat, Balai Pemasyarakatan (BAPAS), Pekerja Sosial Profesional (Peksos), Tenaga Kerja Sosial (TKS), dan Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM). APH terdiri dari tingkat kepolisian, kejaksaan, dan pengadilan. Kemudian LSM yang terlibat adalah LSM yang berkecimpung dalam bidang anak, seperti Komisi Nasional Perlindungan Anak (Komnas PA), Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI), Pusat Pelayanan Terpadu Pemberdayaan Perempuan dan Anak (P2TP2A), dan sebagainya.
Terkait dengan hal tersebut, maka sesuai dengan UU. No. 11 tahun 2012 maka Pembimbing Kemasyarakatan (PK) Bapas dituntut untuk berperan lebih besar terhadap penanganan ABH. Seperti yang telah diatur oleh UU No. 11 tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Anak ayat 24, PK BAPAS melaksanakan tugas dan fungsi LITMAS, pembimbingan, pengawasan, dan pendampingan. Berdasarkan data laporan pemetaan situasi ABH dan SOP penanganan perkara ABH yang dilakukan oleh Komnas Perlindungan Anak (Komnas PA), BAPAS menerapkan model pendekatan untuk tiga tahap:
- Tahap penyidikan di Kepolisian: PK berupaya melakukan mediasi dengan melibatkan keluarga, pihak korban, dan masyarakat setempat;
- Tahap pengadilan anak: PK mendampingi anak selama proses pengadilan dan berkoordinasi dengan LBH;
- Tahap penyidikan maupun setelah putusan hakim: PK berkoordinasi dengan panti sosial
Setelah jatuh keputusan bahwa AKH mendapatkan Tindakan dan/atau Pidana, pihak-pihak terkait akan mengawasi dan membantu AKH hingga langkah ketiga, yakni Reintegrasi. Mereka memastikan bahwa AKH dapat menyatu kembali ke dalam masyarakat seperti sedia kala.
Terkait dengan hal tersebut maka Bapas Klas I Surabaya melakukan upaya-upaya untuk meningkatkan kualitas Pembimbing Kemasyarakatan Kelas I Surabaya sesuai dengan yang dimaksud dalam UU No. 11 Tahun 2012. Upaya dilakukan antara lain dengan memberikan bimbingan tekhnis, pelatihan dan mengikutkan PK kedalam Diklat-diklat Pembimbing Kemasyarakatan. Selain itu juga Dilakukan sinergi dan kooedinasi dengan Lembaga Penegak Hukum yang lain guna menambah wawasan dan pengetahuan Pembimbing Kemasyarakatan.